Kasus
Marsinah
Marsinah adalah seorang aktivis dan
buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang
diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang
selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong Kecamatan
Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi
pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD
Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr.
Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I
Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan
kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan
kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut
dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya
beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur
Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah.
Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993
menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.
Marsinah adalah salah seorang
karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh.
Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam
rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin
Sidoarjo.
3 Mei 1993, para buruh mencegah
teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan
mencegah aksi buruh.
4 Mei 1993, para buruh mogok total
mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok
dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka
perjuangkan dan ont diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993,
Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan
perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang
perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa
Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando
Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan
diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan
masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan
keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu,
sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan
Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah
menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Tanggal 30 September 1993 telah
dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu
adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan
beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap
secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala
Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan
fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian
diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa
mengaku telah membuat control dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap
Baru 18 hari kemudian, akhirnya
diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat
pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap
adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh
Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah
menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap
Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut
adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika
menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan
motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi
dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya.
Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis
17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar
empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi
Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi,
Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan
(bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan
ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus
ini adalah “direkayasa”.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap
Thiam Hien pada 1993. Ia menjadi simbol perjuangan kaum buruh. Kasus ini pun
menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional atau ILO, dikenal sebagai kasus
1713. Namun, pembunuh yang sebenarnya belum menerima hukuman.
Kasus diatas menunjukkan masih
banyaknya pelanggaran HAM di Indonesia. Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan
seseorang atau sekelompok orang baik disengaja maupun tidak mengganggu atau
mencabut hak asasi orang lain. Kasus diatas dapat digolongkan dalam kejahatan
terhadap kemanusiaan, yaitu salah satu kegiatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan yang meluas atau sistematikdan serangan tersebut dijtujukan
langsung terhadap penduduk sipil berupa :
Ø Pembunuhan;
Ø Pemusnahan;
Ø Perbudakan;
Ø pengusiran atau pemindahan penduduk
secara paksa;
Ø Perampasan kemerdekaan atau
perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar
(asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
Ø Penyiksaan;
Ø Perkosaan, perbudakan seksual,
pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara
paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara,
Ø Penganiayaan terhadap suatu kelompok
tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah
diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
Ø Penghilangan orang secara paksa;
Ø Kejahatan apartheid.
Upaya yang dapat dilakukan untuk
menegakkan HAM dilakukan dalam dua bentuk, yaitu pencegahan dan penindakan.
Pencegahan merupakan upaya menciptakan kondisi yang semakin kondusif bagi
penghormatan HAM. Sedangkan penindakan merupakan upaya untuk menangani kasus
pelanggaran HAM berdasarkan ketentuan hokum yang berlaku. Dalam upaya
pencegahan terjadinya pelanggaran terhadap HAM, pemerintah melalui peraturan
perundang-undangan yang dibuatnya, dimasukkanlah masalah HAM tersebut. Selain
itu, juga dapat dilakukan dengan cara :
· Pelayanan, konsultasi, pendampingan
dan advokasi bagi masyarakat yang menghadapi kasus HAM, biasanya dilakukan oleh
Lembaga Bantuan Hukum.
· Penerimaan pengaduan dari korban
pelanggaran HAM, Komnas HAM, lembaga bantuan hukum, dan LSM HAM memiliki
peranan penting.
· Investigasi, yaitu pencarian
data,informasi, fakta yang berkaitan dengan peristiwa pelanggaran HAM,
merupakan tugas Komnas HAM dan LSM HAM.
· Penyelesaian perkara melali
perdamaian, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli, tugas Komnas
HAM.
· Penyelesaian pelanggaran HAM berat
melalu proses peradilan di pengadilan HAM, misalnya kejahatan genosida dan
kejahatan kemanusiaan.
Peristiwa Trisakti
Kejatuhan perekonomian Indonesia sejak tahun 1997
membuat pemilihan pemerintahan Indonesia saat itu sangat menentukan bagi
pertumbuhan ekonomi bangsa ini supaya dapat keluar dari krisis ekonomi. Pada
bulan Maret 1998 MPR saat itu walaupun ditentang oleh mahasiswa dan sebagian
masyarakat tetap menetapkan Soeharto sebagai Presiden. Tentu saja ini membuat
mahasiswa terpanggil untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis dengan menolak
terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden. Cuma ada jalan demonstrasi
supaya suara mereka didengarkan.
Demonstrasi digulirkan sejak sebelum Sidang Umum
(SU) MPR 1998 diadakan oleh mahasiswa Yogyakarta dan menjelang serta saat
diselenggarakan SU MPR 1998 demonstrasi mahasiswa semakin menjadi-jadi di
banyak kota di Indonesia termasuk Jakarta, sampai akhirnya berlanjut terus
hingga bulan Mei 1998. Insiden besar pertama kali adalah pada tanggal 2 Mei
1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta karena mahasiswa dihadang Brimob
dan di Bogor karena mahasiswa non-IPB ditolak masuk ke dalam kampus IPB
sehingga bentrok dengan aparat. Saat itu demonstrasi gabungan mahasiswa dari
berbagai perguruan tingi di Jakarta merencanakan untuk secara serentak
melakukan demonstrasi turun ke jalan di beberapa lokasi sekitar Jabotabek.Namun yang berhasil mencapai ke jalan
hanya di Rawamangun dan di Bogor sehingga terjadilah bentrokan yang
mengakibatkan puluhan mahasiswa luka dan masuk rumah sakit.
Setelah keadaan semakin panas dan hampir setiap
hari ada demonstrasi tampaknya sikap Brimob dan militer semakin keras terhadap
mahasiswa apalagi sejak mereka berani turun ke jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998
ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi menolak pemilihan kembali
Soeharto sebagai Presiden Indonesia saat itu yang telah terpilih berulang kali
sejak awal orde baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia
yang dilanda krisis sejak tahun 1997.
Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol
menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi. Dihadang oleh aparat kepolisian mengharuskan
mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap
mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlansung sepanjang sore hari dan
mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya
baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka.
Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi
hari, masyarakat mengamuk dan melakukan perusakan di daerah Grogol dan terus
menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat
yang menembak mati mahasiswa. Jakarta geger dan mencekam.
Peristiwa semanggi
Awal pada bulan November 1998 pemerintahan
transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu
berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan.
Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J.
Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga
mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan
pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa
1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang
Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan
demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia
internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat
diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa
berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat
dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat
yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Garis waktu
Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan
masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa di
kompleks Tugu Proklamasi.
Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu
mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah,
Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena
dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa
(pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa).
Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman, puluhan
mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievekuasi ke Atma Jaya. Satu
orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit.
Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
Esok harinya Jumat tanggal 13 November 1998
mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan
sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di kampus Universitas
Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari
dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju
mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari
dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis
baja.
Deskripsi
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung
diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja
bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa
mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh
aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu juga beberapa
mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah satunya adalah Teddy
Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan korban
meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas
Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan sekaligus masyarakat yang
terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya
adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya,
Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang
terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta[2]. Mulai
dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi
penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam
kampus Atma Jaya. Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal
tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin
bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat
dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17
orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru
Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil
Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana,
Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk
Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari
berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota
aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang
anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban
mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan
benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar,
wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar
belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun,
terkena peluru nyasar di kepala[3][4].
v Tragedi Semanggi II
Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian
kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa.
Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan
transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU
PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan
kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh
karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama
menentang diberlakukannya UU PKB.
Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap
meninggal dengan luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.
Daerah lainSelain di Jakarta, pada aksi penolakan
UU PKB ini korban juga berjatuhan di Lampung dan Palembang. Pada Tragedi
Lampung 28 September 1999, 2 orang mahasiswa Universitas Lampung, Muhammad
Yusuf Rizal dan Saidatul Fitriah, tewas tertembak di depan Koramil Kedaton. Di
Palembang, 5 Oktober 1999, Meyer Ardiansyah (Universitas IBA Palembang) tewas
karena tertusuk di depan Markas Kodam II/Sriwijaya.
Kasus Bom Bali
HAM (Hak Asasi Manusia) adalah hak yang melekat pada
diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak
dapat diganggu gugat oleh siapapun. HAM Sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa,
bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat
manusia. Sebagai warga negara yang baik kita harus menjunjung tinggi nilai HAM
tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain
sebagainya.
Melanggar HAM merupakan suatu hal yang bertentangan
dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak Asasi Manusia memiliki wadah
organisasi yang mengurus permasalahan seputar Hak Asasi Manusia yaitu Komnas
HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia memang masih banyak yang belum
terselesaikan atau tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di
Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu contoh pelanggaran
HAM di Indonesia adalah berupa kasus bom Bali.
Tragedi bom Bali I yang merenggut 202 nyawa dan 209
lainnya cedera, tidak hanya dari Indonesia, tapi juga dari negara lain. Korban
terbanyak adalah warga Australia yang sedang berlibur di Bali. Hal ini juga
sempat membuat hubungan Indonesia dengan Australia retak karena pemerintah kita
tak kunjung berhasil mengeksekusi mati pelaku peledakan bom di Bali tersebut.
Sebenarnya, orang-orang yang terlibat dan sudah
dihukum dalam kasus bom Bali I adalah korban yang sia-sia. Mereka adalah
orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah namun dipaksa untuk mengakui
perbuatan yang sebenaranya tidak mereka lakukan. Pelaku dari bom Bali I
sebenarnya tidak akan pernah dapat diungkapkan, karena menurut saya pelaku yang
sebenarnya adalah bukan orang Indonesia.
Beberapa waktu sebelum meledaknya bom Bali I, Menteri
Pertahanan Amerika Serikat pernah mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia
adalah tempat yang paling potensial sebagai tempat bersembunyinya teroris.
Pernyataan ini langsung dibantah secara keras oleh Presiden RI yang waktu itu
dijabat oleh Ibu Megawati Soekarno Putri. Beliau menyatakan, bahwa Indonesia
tidak pernah bersahabat dengan teroris. Teroris tidak akan pernah dapat
bermukim dengan tenang di Indonesia. Untuk membuktikan bahwa pernyataan Menteri
Pertahanan Amerika Serikat itu benar, maka Amerika mengirimkan orang-orangnya
ke Indonesia untuk meneror bangsa Indonesia dengan bom yang maha dahsyat yaitu
di daerah Bali. Siapakah sebenarnya pemilik bom jenis ini? Apakah mungkin seorang
Imam Samudra atau para tersangka lain memiliki bom jenis ini?
Jika Imam Samudra adalah benar pelaku bom Bali I maka
tidak akan pernah ada manusia sebodoh Imam Samudra yang sepertinya dengan
sengaja meninggalkan KTP nya di TKP. Bayangkan jika anda seorang pencuri,
mungkinkah anda tinggalkan jejak anda di rumah orang yang anda curi. Apalagi
ini jelas jejak yang sangat akurat, KTP. Saya rasa tidak ada orang yang akan
melakukan hal sebodoh itu. Jika Imam Samudra adalah seorang teroris maka sudah
barang tentu Imam Samudra tak akan melakukan hal seceroboh itu dengan
meninggalkan KTP nya di TKP. Mungkinkah KTP terjatuh dari dalam dompet
sementara dompetnya tidak? Mungkinkah Imam Samudra masuk ke Sari Club dan
memasang bom di dalamnya?
Saya yakin dan percaya Imam Samudra adalah orang Islam
yang taat beragama. Tidak mungkin membawa bom ke dalam Sari Club. Setelah saya
berpikir, saya lebih sependapat dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang
menyatakan bahwa pelaku pemboman itu adalah CIA (Central Intelligence Agency).
Tidak mungkin orang Indonesia memiliki bom jenis TNT kala itu. Orang Indonesia
kala itu hanya mampu membuat bom rakitan yang ledakannya cuma bisa ngagetin
kuda. Tidak mungkin dapat mengejutkan dunia. Jadi jelaslah sudah bahwa para
pelaku yang sudah dihukum bukan pelaku yang sebenarnya.
Lalu mengapa kepolisian RI menangkap dan menjebloskan
Imam Samudra ke dalam penjara? Apakah hal ini dilakukan semata-mata untuk
sekedar menyelamatkan muka Indonesia dari pandangan miring Internasional. Jika
Indonesia tidak dapat mengungkap kasus ini secara cepat, bayangkan, betapa
malunya pemerintah kita jika tidak dapat mengungkapkan kasus ini. Mungkin
karena itu semua maka dicarilah seorang kambing hitam yang paling pantas untuk
dituduh sebagai pelaku. Tapi sialnya, pemerintah Indonesia terpengaruh oleh
pengaruh Amerika yang sangat kuat bahwa teroris pastilah orang Islam. Maka
ditangkaplah Imam Samudra yang kebetulan KTP nya ditemukan di TKP. Hal ini
sangat tidak sesuai dengan HAM yang ada di Indonesia
Untuk mengatasi kasus yang terjadi tersebut, menurut
saya seharusnya perlu penyelesaian terhadap berbagai konflik di tanah air yang
telah melahirkan berbagai tindakan kekerasan yang melanggar Hak Asasi Manusia,
baik oleh sesama kelompok masyarakat yaitu dengan cara menyelesaikan akar
permasalahan secara terencana, adil, dan menyeluruh. Hukum di Indonesia harus
ditegakkan, sistem peradilan harus berjalan dengan baik dan adil, para pejabat
penegak hukum harus memenuhi kewajiban tugas yang dibebankan kepadanya dengan
memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat pencari keadilan,
memberikan perlindungan kepada semua orang dalam rangka menegakkan hukum.
Selain itu, perlu adanya kontrol dari masyarakat dan pengawasan dari lembaga
politik terhadap upaya-upaya penegakan Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh
pemerintah.
Kasus Hilang dan Meninggalnya aktivis di kantor
DPD PDI Jakarta (1996)
Soeharto dan pembantu militernya merekayasa Kongres PDI di Medan dan mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa pemerintahan Orde Baru untuk menggulingkan Megawati itu dilawan pendukung Megawati dengan menggelar mimbar bebas di Kantor DPP PDI.
Mimbar bebas yang menghadirkan sejumlah tokoh kritis dan aktivis penentang Orde Baru, telah mampu membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku politik Orde Baru. Sehingga ketika terjadi pengambilalihan secara paksa, perlawanan dari rakyat pun terjadi.
Berawal dari pengambilalihan kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat oleh massa DPP PDI hasil Kongres Medan pimpinan Soejadi. Pengambilalihan melalui kekerasan ini berlanjut pada kerusuhan massa di Jakarta
Sabtu 27 Juli 1996
Pukul 06.00
WIB
Sekjen DPP
PDI hasil kongres Medan, Buttu Hutapea memimpin 800 satuan tugas mengambil alih
kantor DPP PDI. Bentrokan terjadi, kantor hancur berantakan akibat hujan batu.
Pukul 09.00 WIB
Pukul 09.00 WIB
Ratusan
satgas PDI mendobrak pintu dan membakar barang-barang yang ada di dalam kantor.
Tak lama kemudian sekitar 10 orang digotong dari kantor DPP PDI, diperkirakan
mereka adalah pendukung Megawati. Akibat bentrokan tersebut, sebuah sepeda
motor dan sebuah mobil jip yang berada di halaman kantor rusak diamuk massa.
Pukul 14.00 WIB
Pukul 14.00 WIB
Massa masih
berkumpul di halaman gedung bioskop Megaria dan sepanjang Jalan Diponegoro.
Mereka berusaha menerobos barikade aparat keamanan dengan melakukan
pelemparan-pelemparan ke arah aparat. Massa semakin beringas, Kapolres Jakarta
Pusat mengintruksikan untuk menyerbu. Pasukan lapis kedua menyerbu massa
sehingga kerumunan massa lari terpencar dan terkonsentrasi dalam tiga kelompok,
yakni Jalan Salemba Raya, Jalan Proklamasi, dan Jalan Cikini. Lima panser dari
arah Cikini disertai ratusan aparat keamanan mengendarai belasan truk dan tiga
mobil gas air ata detasemen berat PHH serta satu mobil recovery.
Pukul 14.45 WIB
Massa yang
berpencar ke beberapa lokasi mulai bertindak: membakar, melempar, merusak. Tiga
bus dibakar, gedung Persit Kartika Chandra Kirana, gedung Direktorat Jenderal
Peternakan, Gedung Bank Swansarindo International, Gedung Toyota Auto 2000,
Bank Mayapada, Gedung Darmex, PT Pertamina Tongkang, Bank BBD, serta sejumlah
bangunan di sepanjang jalan menuju Pasar Senin rusak.
Partai Rakyat Demokratik (PRD) pimpinan Budiman Sudjatmiko dituding sebagai dalang kerusuhan. Sebelum 27 Juli, hampir selama sebulan, aktivis PRD turut menggelar orasi di halaman kantor DPP PDI. Budiman dan kawan-kawan diburu dan ditangkap serta diadili. Mereka dituduh melakukan tindakan subversif berkaitan dengan kegiatannya di PRD yang dipimpinnya bukan dalam kaitan kerusuhan.
No comments:
Post a Comment